Seperti yang diketahui, pada akhir tahun lalu pemerintah India meresmikan UU Amandemen Warga Negara yang kemudian dianggap anti-Muslim. Melalui UU ini, pemerintah India akan memberikan kewarganegaraan pada imigran ilegal non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan.
Namun, meski memberikan kewarganegaraan pada imigran non-Muslim, UU ini mengharuskan umat Muslim India untuk membuktikan bahwa mereka merupakan warga negara yang sah. Lantas, ada kemungkinan bahwa warga Muslim India justru akan kehilangan kewarganegaraan tanpa alasan yang jelas.
Menyusul disahkannya UU tersebut, kerusuhan pecah di India Timur pada Desember lalu, di mana sejumlah demonstran yang menentang UU tersebut terlibat bentrok dengan polisi, sebagaimana dilaporkan Reuters.
UU yang menjadi sumber kericuhan merupakan bagian dari agenda nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi. Kelompok Islam, oposisi, dan kelompok hak asasi manusia menganggap UU tersebut bertujuan untuk memarginalkan umat Muslim di India yang jumlahnya mencapai 200 juta jiwa.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, PM Mahathir pun tak tinggal diam. Dalam pidatonya di sesi ke-74 Majelis Umum PBB pada 27 September 2019, Mahathir mengatakan bahwa New Delhi telah "menyerbu dan menduduki" Jammu dan Kashmir, wilayah berpenduduk mayoritas Muslim yang juga diklaim oleh Pakistan. Mahathir kemudian dengan tegas mengecam langkah diskriminatif pemerintah India terhadap penduduk Muslim di negaranya.
India pun berang dengan sikap Malaysia. Pada awal tahun ini, para importir minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) India mengumumkan akan menghentikan semua pemesanan dari pemasok utamanya yakni Malaysia.
"Secara resmi tidak ada larangan impor ... tetapi tidak ada yang membeli karena larangan pemerintah," kata seorang sumber yang merupakan pengusaha terkemuka di India kepada Reuters.
"Kami dapat membeli CPO dari Malaysia, tetapi pemerintah telah memberi peringatan, 'jangan datang ke kami jika pengiriman Anda tertahan'. Dan tak ada satu pun yang mau pengirimannya tertahan di pelabuhan," kata seorang trader yang berbasis di Mumbai.
Namun, Mahathir tak bergeming. Walaupun ekspor CPO Malaysia ke India menjadi terhambat, Mahathir menganggap bahwa invasi India di Kashmir dan aksi diskriminatif mereka terhadap umat Muslim merupakan masalah yang lebih besar.
"Kita tentu memperhatikan ini, karena kita menjual minyak sawit ke India. Tetapi di sisi lain, kita harus jujur dan ketika sesuatu hal berjalan buruk, kita harus katakan itu," tegasnya sebagaimana dilansir The Star, Selasa (14/1/2020).
"Jika kita membiarkan hal salah terjadi dan memikirkan tentang uang saja, akan banyak hal salah terjadi."
Untuk diketahui, India merupakan importir CPO terbesar di dunia. Impor komoditas tersebut biasanya paling banyak dilakukan menjelang hari besar bernama Diwali, sebuah festival cahaya yang diperingati setiap tahun dalam kalender Hindu.
Hari besar tersebut utamanya dirayakan oleh umat Hindu yang berada di India. Pada tahun lalu, Diwali jatuh pada tanggal 27 Oktober. Perayaan Diwali di India berlangsung selama berhari-hari.
Impor CPO India mencapai dua per tiga dari total impor minyak nabatinya atau setara dengan 9 juta ton per tahun, terutama berasal dari Indonesia dan Malaysia.
Di sisi lain, Malaysia merupakan penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Di Malaysia, industri minyak sawit diketahui menyumbang sekitar 3% dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Dunia - Terbaru - Google Berita
January 15, 2020 at 03:17PM
https://ift.tt/2NsA8fO
India-Malaysia Panas, Akankah Saham Produsen CPO Bangkit? - CNBC Indonesia
Dunia - Terbaru - Google Berita
https://ift.tt/2M0nSS7
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "India-Malaysia Panas, Akankah Saham Produsen CPO Bangkit? - CNBC Indonesia"
Post a Comment