Search

Indonesia Tak Masuk Radar, Kalah dari Negara Lain di ASEAN (1) - kompas.id

HANDINING

Simon Saragih, wartawan senior Kompas

Perang dagang AS-China berwujud dengan pengenaan tarif oleh Presiden AS Donald Trump pada impor asal China. Hal ini dibalas dan dua negara berbalasan. Dari sini berkembang pemikiran agar pabrik-pabrik di China direkolasi ke seberang.

Akan tetapi, relokasi itu berat dijalankan. Terlalu sulit pabrikan meninggalkan China yang begitu efisien. Hanya sedikit perusahaan perusahaan yang mewujudkan relokasi. Namun dari sedikit itu, Indonesia tidak masuk radar. Mengapa demikian?

Belum! Tidak akan ada eksodus besar-besaran pabrik-pabrik China ke seberang. China akan ketat mencegah ini supaya tidak terjadi. Pengacauan ekonomi China. Itulah memang yang diinginkan Presiden AS Donald Trump. “Investasi akan datang segera ke negara kita,” demikian penasihat dagang Trump, Peter Navarro. Tarif adalah pukulan dari AS untuk China agar terjadi relokasi pabrik ke AS.

STR/AFP

Seorang pekerja memotong pipa minyak di sebuah pabrik di Qingdao di provinsi Shandong bagian timur China pada 28 Februari 2019. Perang dagang dengan AS memaksa sebagian pengusaha merelokasi pabriknya di China ke negara lain.

Sekali lagi, langkah AS ini tidak begitu saja memunculkan relokasi. China tidak diam, dan membalas dengan salah satunya penghentian impor pertanian AS. China tidak akan takut dengan ancaman AS.

Uniknya pada Oktober ini mendadak muncul ucapan Presiden Trump dengan kalimat, “Telah dicapai kesepakatan dagang fase 1 dengan China.” Tidak jelas rincian dari fase 1 itu, yang belum diumumkan secara resmi itu. Presiden Trump menyatakan fase ini akan diumumkan, belum tahu kapan.

Tekanan tak berubah

Menurut sumber di Gedung Putih, kesepakatan fase 1 itu adalah keharusan bagi China membeli sejumlah besar produk pertanian AS. Fase tahap 1 itu juga tetap mempersoalkan hak kekayaan intelektual, dengan menuduh China mencuri teknologi. Fase ini meminta China membuka pasarnya untuk jasa keuangan asing lebih lebar dan agar China jangan memanipulasi kurs yuan untuk menaikkan daya saing ekspor.

Kepala United States Trade Representatives (USTR) Robert Lighthizer mengatakan, upaya mencapai fase 1 tetap dalam jalurnya, sebelum diumumkan secara resmi oleh Presiden Trump. Akan tetapi, China tetap memperingatkan meski ada potensi pencapaian atas kesepakatan fase 1 yang sedang digodok ini. China belum yakin dengan janji Trump soal kesepakatan fase 1 yang tidak jelas isinya ini. China tetap ragu dan melihat AS setengah hati soal perdagangan ini.

AP PHOTO/ANGIE WANG

Tumpukan kedelai menunggu diangkut di Delaware, Ohio, AS, Selasa, 14 Mei 2019. Para petani AS mengkhawatirkan, perang dagang dengan China secara permanen merusak pasar mereka di China.

Trump selalu mudah mengucapkan kalimat, termasuk kalimat “perang dagang ini mudah dimenangkan”. Sudah setahun perang dagang, tidak ada titik temu sejauh ini. Ucapan Trump yang lain, China lebih berkepentingan untuk mencapai kesepakatan dagang ketimbang AS.

China ingin kesepakatan dicapai tetapi tidak mau hal itu dicapai dengan tekanan. China tidak suka dengan gaya perundingan AS, yang dipimpin Robert Lighthizer. Kepala USTR yang ahli hukum ini jarang bicara tetapi dikenal garang saat menghadapi Jepang pada dekade 1980-an terkait perundingan dagang, di era Presiden Ronald Reagan. Semuanya tergantung arahan Presiden Trump, itu pijakan Lighthizer selalu.

Pijakan itu intinya adalah menghantam China sampai kapok. China tidak akan kapok. China balik menghardik. “Kami tidak sepakat dengan pedang tarif yang menghujam setiap sudut serta mengenakan tekanan maksimum terhadap China,” demikian dikatakan Wakil Menlu China Le Yucheng seperti dikutip kantor berita Agence France Presse pada 21 Oktober 2019 lalu. “Praktik ini memperlihatkan pola pemikiran lama dan itu tidak akan berhasil,” lanjut Wakil Menlu China.

Perlawanan China tidak surut. “Jika tuntutan AS terlalu banyak, seperti memaksakan perubahan yang akan mengubah model ekonomi China, kesepakatan yang lengkap tidak akan bisa dicapai selama pemerintahan Trump,” kata Zhou Xiaoming, mantan pejabat di Kementerian Luar Negeri China. “Di samping itu, China ingin kesepakatan dicapai segera, meski sebuah kesepakatan lengkap juga termasuk keharusan penghapusan tarif, yang dikenakan AS terhadap China.”

Oleh sebab itu, Lighthizer mengatakan sejumlah pembahasan masih harus perlu diperjelas. Ini senada dengan pernyataan Mendag AS Wilbur Ross bahwa AS tidak akan terburu-buru meneken kesepakatan. “Tentu kami ingin ada kesepakatan. Akan tetapi dari sudut pandang kami, kesepakatan itu harus merupakan hal yang tepat dan tidak harus dicapai pada November,” kata Ross.

Bukan hal aneh di bawah Presiden Trump, jika terjadi perbedaan antara yang diucapkan oleh Trump dengan persepsi bawahannya.

Sama-sama keras

Sebagaimana Trump tetap keras, China juga akan terus muncul dengan kebijakannya. Perang dagang tidak akan berakhir segera. Jika bagi AS China adalah penyebab defisit perdagangan, pencuri teknologi, sebaliknya bagi China, negara itu memiliki kedaulatan untuk mengembangkan dirinya. Intinya perang tarif tidak akan berakhir segera.

Profesor ekonomi dari Harvard, Dani Rodrik, mengatakan sebenarnya hal yang dimaksudkan Trump soal tarif adalah agar China mau berdiskusi soal hubungan perekonomian bilateral. Di sisi lain China menginginkan agar perdebatan soal hubungan ekonomi bilateral diselesaikan melalui forum multilateral, World Trade Organisation (WTO).

AS tidak mau memakai skema WTO. China dianggap tidak realistis untuk berharap pada WTO, menurut Rodrik. Akan tetapi China melihat persoalan ini lebih dari sekadar masalah dagang. Ini adalah masalah “pembonsaian” China dan perekonomiannya. Dan tidak sedikit bukti bahwa AS cenderung menggunakan skema negosiasi berdasarkan aturannya sendiri, bukan aturan multilateral, apalagi jika dianggap sistem ini tidak menguntungkan AS.

“Perekonomian global selama ini terbiasa dengan sebuah peraturan sederhana: AS memimpin, setiap orang mengikuti,” demikian kutipan dari The Wall Street Journal, edisi 2 Oktober 2019.

REUTERS / KEVIN LAMARQUE

Presiden AS Donald Trump bertemu dengan Presiden China Xi Jinping pada awal pertemuan bilateral mereka di KTT para pemimpin G20 di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019.

China jelas menolak ini hingga muncul seruan damai dari para ekonom AS dan China. Dua negara berdiskusi agar tidak terjadi keretakan hubungan dua negara yang saling membutuhkan.

Inilah yang tidak disetujui Trump atau jauh dari opini Trump, dengan ego yang begitu menonjol. “Maka tidak jelas, apakah ada kejelasan pemikiran untuk sebuah pertemuan yang menghasilkan kesepakatan nyata,” demikian Eswar Prasad, yang pernah membawahi divisi China di Dana Moneter Internasional (IMF) dan kini dosen di Cornell University. (Bersambung)

Let's block ads! (Why?)



Dunia - Terkini - Google Berita
November 07, 2019 at 08:00AM
https://ift.tt/2CmVRzT

Indonesia Tak Masuk Radar, Kalah dari Negara Lain di ASEAN (1) - kompas.id
Dunia - Terkini - Google Berita
https://ift.tt/2M0nSS7
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Indonesia Tak Masuk Radar, Kalah dari Negara Lain di ASEAN (1) - kompas.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.